Saat itu, kulihat dirimu duduk meringkuk di sudut bangunan itu, pucat pasi, ketakutan, sendiri. Matamu menerawang kosong, putus asa lebih tepatnya, rambutmu yang tak beraturan itu menandakan sudah lama kau tak menyempatkan diri untuk membersihkan dirimu. Usang, tak terawat, itulah dirimu saat itu.
Kau teriakkan "angin,,angin,,angin." Lalu matamu merebakkan tetesan air mata. Setelah usai kau hentikan tangismu, kau berucap kembali "angin,,angin,,angin."
Saat itu aku hanya terdiam, menatapmu, menelaah setiap gerak gerikmu, bertanya mengapa? Kau pun hanya terdiam, melihat aku yang mencoba duduk di sisimu, untuk sekedar menemanimu, tak berucap dan mungkin berusaha memelukmu pun tidak.
Kutemani dirimu dalam rengkukanmu, kau hanya terdiam sembari kadang air mata menetes dari mata elangmu itu. Ya, seperti itu setiap hari. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hingga berbulan - bulan. Kita terdiam. Kau sibuk bercucuran air mata dan meneriakkan angin, dan aku sibuk mendengarkan segala kata dalam diammu, cukup duduk disampingmu, tanpa berusaha memelukmu.
Sampai pada suatu ketika, kau beranikan diri untuk berhenti dari kebiasaan bercucuran air matamu. Kau menatapku untuk pertama kalinya, dan satu kata kau ucap "Bintang..". Aku hanya mengernyitkan dahi, tak pernah bisa mengerti, isi pikirmu dan ego yang tumbuh dalam dirimu. Satu kesimpulan, kau dekat dengan alam atau mungkin merasa ingin dekat dengan alam. Aroma kebebasan yang mungkin selama ini kau rindukan. Kebebasan yang terkungkung dalam tirani bernafaskan pengharapan. Serumit itukah dirimu?
Akhirnya enam bulan berlalu, kau masih menatapku dan mengucapkan bintang sembari kadang kau bercucuran air mata dan mengucapkan angin. Kosong. Jiwamu mati. Hatimu terkubur hidup - hidup dalam egomu. Tiba - tiba kau berkata "Bunuh aku, sekian kali kucoba mengakhiri hidup, aku selalu tak sanggup. Bunuh aku, bunuh aku sekarang" tatapan kosongmu mengiba. "Jangan, hidupmu masih panjang, bukankah mati adalah awal dari segalanya?" jawabku kepadamu. "Bunuh aku, bunuh aku segera, agar aku bisa mengawalinya dengan segera pula." kau menimpaliku. "Aku takkan sanggup, aku takkan bisa." kuhindari tatapanmu yang mengiba itu. Aku hanya terdiam, tak mampu berpikir, apa yang lebih baik untukmu, kau sangat pandai berbicara, mencari celah yang ada, hingga ku tak mampu menolak maumu. Sekejap saja, kau arahkan sebelah pisau tepat di dada kiriku "Aku yang mati atau kau yang mati" itu ancammu. Kau membuatku tak bisa mengelak, kau membuatku terdesak, kau membuatku cepat memutar otak, tak bisa berpikir panjang, tak bisa berlogika. Sebelum kujawab tanyamu, sudah kutarik pemicu senapan genggamku lebih dulu. "Selamat datang pada kedamaian Malam, sesuai pintamu. Selamat datang pada dunia awal segalanya."
Kutinggalkan dirimu yang tergeletak dengan sedikit luka di dada kirimu, kulakukan ini karena aku mencintaimu, kau ingin mati dan aku suka membunuh, kita serasi bukan?
"kematian" bukanlah akhir dari segalanya. tapi awal dari sebuah transformasi. cinta tak haruslah menderita, cinta seharusnya indah seperti. kearifan otak menghasilkan logika, kearifan hati menghasilkan emosi. jika keduanya bisa berkompromi, kebahagiaan adalah jawabannya. belajarlah dari kisah dan sejarah. agar tak mahal waktumu untuk belajar.
ReplyDeleteti pat kai, adalah seorang panglima perang gagah yg dikutuk terus menerus menderita krn cinta. kamu bkn ti pat kai kan?
ommmm. iki cerpeennnnn menurut om gimana? -_-
ReplyDeletesaya radhiana purisanti om, bukan pat kai... layak mlebu sastra apa ga ya?
hai mbak nana. hihi. aku ga pernah nulis fiksi, hehe. jadi bingung mau komen apa. pokoknya nice writing deh :D
ReplyDeleteahhhh shinta maahhh -_-
ReplyDeletecabikan pada emosi bagus, tapi logikanya kurang, aku kurang nangkep siapa itu "kamu" dan "aku", tak pikir tadinya "kamu" dan "aku" itu satu individu, ternyata bukan ya?
ReplyDeletetapi go oooooonn deh! =D
aku wae wis gak pernah nulis cerpen hehehe...
(maaf kritikan kurang pedas, saya sedang mengurangi bisa di lidah saya XP)
terima kasih atas kebaikan hatimu untuk tidak mengeluarkan bisamu,,hahaha :P
ReplyDeletehoee. udah banyak improve ya sekarang.. hehe.. sekarang tinggal temukan benang merahnya. opo yo, aku ngirone awale kowe ketemu wong edan neng ndalan, ternyata malah kegalauan pacaran. haha. oh ya kuatkan subjek. halahh. yo ngono kuwi lah.
ReplyDeletetapi aku seneng banget ending e. "kau ingin mati dan aku suka membunuh, kita serasi bukan?"
bu dokternya lagi galau rock 'n roll, hehee..apik na, tapi pemilihan & ngrangkai kosa katanya nya kadang masih ada yg aneh..tingkatkan prestasimu na. tapi kata-kata terakhirnya mantap na, pazz.."karena aku mencintaimu, kau ingin mati dan aku suka membunuh, kita serasi bukan?"
ReplyDeleteKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
ReplyDeleteBagus, banyak paradox-nya tp di situ yg nambah greget dan merangsang imajinasi... ayo nulis terus, saya siap mengkritik kalo ada yg kurang berkenan menurutku :)
ReplyDelete